==Niat ==
Niat berarti menyengaja untuk sholat, menghambakan diri kepada Allah Ta’ala semata, serta menguatkannya dalam hati.
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Semua amal tergantung pada niatnya dan setiap orang akan mendapat (balasan) sesuai dengan niatnya.” (HR. Bukhari, Muslim dan lain-lain. Baca Al Irwa’, hadits no. 22).
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Semua amal tergantung pada niatnya dan setiap orang akan mendapat (balasan) sesuai dengan niatnya.” (HR. Bukhari, Muslim dan lain-lain. Baca Al Irwa’, hadits no. 22).
Niat tidak dilafadzkan
Dan tidaklah disebutkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan tidak pula dari salah seorang sahabatnya bahwa niat itu dilafadzkan.
Abu Dawud bertanya kepada Imam Ahmad. Dia berkata, “Apakah orang sholat mengatakan sesuatu sebelum dia takbir?” Imam Ahmad menjawab, “Tidak.” (Masaail al Imam Ahmad hal 31 dan Majmuu’ al Fataawaa XXII/28).
AsSuyuthi
berkata, “Yang termasuk perbuatan bid’ah adalah was-was (selalu ragu)
sewaktu berniat sholat. Hal itu tidak pernah diperbuat oleh Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam maupun para shahabat beliau. Mereka dulu
tidak pernah melafadzkan niat sholat sedikitpun selain hanya lafadz
takbir.”
Asy Syafi’i
berkata, “Was-was dalam niat sholat dan dalam thaharah termasuk
kebodohan terhadap syariat atau membingungkan akal.” (Lihat al Amr bi al
Itbaa’ wa al Nahy ‘an al Ibtidaa’).
Menghadap Kiblat
Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam bila berdiri untuk sholat fardhu atau sholat sunnah,
beliau menghadap Ka’bah. Beliau memerintahkan berbuat demikian
sebagaimana sabdanya kepada orang yang sholatnya salah:“Bila
engkau berdiri untuk sholat, sempurnakanlah wudhu’mu, kemudian
menghadaplah ke kiblat, lalu bertakbirlah.” (HR. Bukhari, Muslim dan
Siraj).
Tentang hal ini telah turun pula firman
Allah dalam Surah Al Baqarah : 115: “Kemana saja kamu menghadapkan muka,
disana ada wajah Allah.”
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah
sholat menghadap Baitul Maqdis, hal ini terjadi sebelum turunnya firman
Allah: “Kami telah melihat kamu menengadahkan kepalamu ke langit. Kami
palingkan kamu ke kiblat yang kamu inginkan. Oleh karena itu,
hadapkanlah wajahmu ke sebagian arah Masjidil Haram.” (QS. Al Baqarah :
144).
Setelah ayat ini turun beliau sholat menghadap Ka’bah.
Pada waktu sholat subuh kaum muslim yang
tinggal di Quba’ kedatangan seorang utusan Rasulullah untuk menyampaikan
berita, ujarnya, “Sesungguhnya semalam Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam telah mendapat wahyu, beliau disuruh menghadap Ka’bah. Oleh
karena itu, (hendaklah) kalian menghadap ke sana.” Pada saat itu mereka
tengah menghadap ke Syam (Baitul Maqdis). Mereka lalu berputar (imam
mereka memutar haluan sehingga ia mengimami mereka menghadap kiblat).
(HR. Bukhari, Muslim, Ahmad, Siraj, Thabrani, dan Ibnu Sa’ad. Baca Kitab
Al Irwa’, hadits No. 290).
Berdiri
Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam mengerjakan sholat fardhu atau sunnah
berdiri karena memenuhi perintah Allah dalam QS. Al Baqarah : 238.
Apabila bepergian, beliau melakukan sholat sunnah di atas kendaraannya.
Beliau mengajarkan kepada umatnya agar melakukan sholat khauf dengan
berjalan kaki atau berkendaraan.
“Peliharalah
semua sholat dan sholat wustha dan berdirilah dengan tenang karena
Allah. Jika kamu dalam ketakutan, sholatlah dengan berjalan kaki atau
berkendaraan. Jika kamu dalam keadaa aman, ingatlah kepada Allah dengan
cara yang telah diajarkan kepada kamu yang mana sebelumnya kamu tidak
mengetahui (cara tersebut).” (QS. Al Baqarah : 238).
Menghadap Sutrah (Pembatas)
Sutrah
(pembatas yang berada di depan orang sholat) dalam sholat menjadi
keharusan imam dan orang yang sholat sendirian, sekalipun di masjid
besar, demikian pendapat Ibnu Hani’ dalam Kitab Masa’il, dari Imam
Ahmad.
Beliau
mengatakan, “Pada suatu hari saya sholat tanpa memasang sutrah di depan
saya, padahal saya melakukan sholat di dalam masjid kami, Imam Ahmad
melihat kejadian ini, lalu berkata kepada saya, ‘Pasanglah sesuatu
sebagai sutrahmu!’ Kemudian aku memasang orang untuk menjadi sutrah.”
Syaikh Al
Albani mengatakan, “Kejadian ini merupakan isyarat dari Imam Ahmad bahwa
orang yang sholat di masjid besar atau masjid kecil tetap berkewajiban
memasang sutrah di depannya.”
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Janganlah
kamu sholat tanpa menghadap sutrah dan janganlah engkau membiarkan
seseorang lewat di hadapan kamu (tanpa engkau cegah). Jika dia terus
memaksa lewat di depanmu, bunuhlah dia karena dia ditemani oleh setan.”
(HR. Ibnu Khuzaimah dengan sanad yang jayyid (baik)).
Beliau juga bersabda:
“Bila
seseorang di antara kamu sholat menghadap sutrah, hendaklah dia
mendekati sutrahnya sehingga setan tidak dapat memutus sholatnya.” (HR.
Abu Dawud, Al Bazzar dan Hakim. Disahkan oleh Hakim, disetujui olah
Dzahabi dan Nawawi).
Dan
hendaklah sutrah itu diletakkan tidak terlalu jauh dari tempat kita
berdiri sholat sebagaimana yang telah dicontohkan oleh Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam.
“Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam berdiri shalat dekat sutrah (pembatas) yang
jarak antara beliau dengan pembatas di depannya 3 hasta.” (HR. Bukhari
dan Ahmad).
Adapun yang
dapat dijadikan sutrah antara lain: tiang masjid, tombak yang
ditancapkan ke tanah, hewan tunggangan, pelana, tiang setinggi pelana,
pohon, tempat tidur, dinding dan lain-lain yang semisalnya, sebagaimana
telah dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Takbiratul Ihram
Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam selalu memulai sholatnya (dilakukan hanya
sekali ketika hendak memulai suatu sholat) dengan takbiratul ihrom yakni
mengucapkan Allahu Akbar
di awal sholat dan beliau pun pernah memerintahkan seperti itu kepada
orang yang sholatnya salah. Beliau bersabda kepada orang itu:
“Sesungguhnya
sholat seseorang tidak sempurna sebelum dia berwudhu’ dan melakukan
wudhu’ sesuai ketentuannya, kemudian ia mengucapkan Allahu Akbar.”
(Hadits diriwayatkan oleh Al Imam Thabrani dengan sanad shahih).
Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Apabila engkau hendak
mengerjakan sholat, maka sempurnakanlah wudhu’mu terlebih dahulu
kemudian menghadaplah ke arah kiblat, lalu ucapkanlah takbiratul ihrom.”
(Muttafaqun ‘alaihi).
Takbirotul ihrom diucapkan dengan lisan
Takbirotul ihrom tersebut harus diucapkan dengan lisan (bukan diucapkan di dalam hati).
Muhammad
Ibnu Rusyd berkata, “Adapun seseorang yang membaca dalam hati, tanpa
menggerakkan lidahnya, maka hal itu tidak disebut dengan membaca. Karena
yang disebut dengan membaca adalah dengan melafadzkannya di mulut.”
An Nawawi
berkata, “…adapun selain imam, maka disunnahkan baginya untuk tidak
mengeraskan suara ketika membaca lafadz takbir, baik apakah dia sedang
menjadi makmum atau ketika sholat sendiri. Tidak mengeraskan suara ini
jika dia tidak menjumpai rintangan, seperti suara yang sangat gaduh.
Batas minimal suara yang pelan adalah bisa didengar oleh dirinya sendiri
jika pendengarannya normal. Ini berlaku secara umum baik ketika membaca
ayat-ayat al Quran, takbir, membaca tasbih ketika ruku’,
tasyahud, salam dan doa-doa dalam sholat baik yang hukumnya wajib
maupun sunnah…” beliau melanjutkan, “Demikianlah nash yang dikemukakan
Syafi’i dan disepakati oleh para pengikutnya. Asy Syafi’i berkata dalam
al Umm, ‘Hendaklah suaranya bisa didengar sendiri dan orang yang berada
disampingnya. Tidak patut dia menambah volume suara lebih dari ukuran
itu.’.” (al Majmuu’ III/295).
Mengangkat Kedua Tangan
Disunnahkan
mengangkat kedua tangannya setentang bahu ketika bertakbir dengan
merapatkan jari-jemari tangannya, berdasarkan hadits yang diriwayatkan
oleh Abdullah bin Umar radiyallahu anhuma, ia berkata: “Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam biasa mengangkat kedua tangannya setentang
bahu jika hendak memulai sholat, setiap kali bertakbir untuk ruku’ dan
setiap kali bangkit dari ruku’nya.” (Muttafaqun ‘alaihi).
Atau
mengangkat kedua tangannya setentang telinga, berdasarkan hadits
riwayat Malik bin Al-Huwairits radhiyyallahu anhu, ia berkata:
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam biasa mengangkat kedua
tangannya setentang telinga setiap kali bertakbir (didalam sholat).”
(HR. Muslim).
Dalam
sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud, Ibnu Khuzaimah, Tamam
dan Hakim disebutkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
mengangkat kedua tangannya dengan membuka jari-jarinya lurus ke atas
(tidak merenggangkannya dan tidak pula menggengamnya). (Shifat Sholat
Nabi).
Tangan Bersedekap
Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam meletakkan tangan kanan di atas tangan kirinya (bersedekap). Beliau bersabda:
“Kami, para nabi diperintahkan untuk segera berbuka
dan mengakhirkan sahur serta meletakkan tangan kanan pada tangan kiri
(bersedekap) ketika melakukan sholat.” (Hadits diriwayatkan oleh Al Imam
Ibnu Hibban dan Adh Dhiya’ dengan sanad shahih).Dalam
sebuah riwayat pernah beliau melewati seorang yang sedang sholat,
tetapi orang ini meletakkan tangan kirinya pada tangan kanannya, lalu
beliau melepaskannya, kemudian orang itu meletakkan tangan kanannya pada
tangan kirinya. (Hadits riwayat Ahmad dan Abu Dawud dengan sanad yang
shahih).
Meletakkan atau menggenggam
Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam meletakkan lengan
kanan pada punggung telapak kirinya, pergelangan dan lengan kirinya
berdasar hadits dari Wail bin Hujur:
“Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
bertakbir kemudian meletakkan tangan kanannya di atas telapak tangan
kiri, pergelangan tangan kiri atau lengan kirinya.” (Hadits diriwayatkan
oleh Al Imam Abu Dawud, Nasa’i, Ibnu Khuzaimah, dengan sanad yang
shahih dan dishahihkan pula oleh Ibnu Hibban, hadits no. 485).
Beliau terkadang juga menggenggam pergelangan tangan kirinya dengan tangan kanannya, berdasarkan hadits Nasa’i dan Daraquthni:
“Tetapi beliau terkadang menggenggamkan jari-jari tangan kanannya pada lengan kirinya.” (sanad shahih).
Memandang Tempat Sujud
Pada
saat mengerjakan sholat, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
menundukkan kepalanya dan mengarahkan pandangannya ke tempat sujud. Hal
ini didasarkan pada hadits yang diriwayatkan oleh Ummul Mukminin ‘Aisyah
radhiyallahu ‘anha: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak
mengalihkan pandangannya dari tempat sujud (di dalam sholat).” (HR.
Baihaqi dan dishahihkan oleh Syaikh Al Albani).
Larangan menengadah ke langit
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang
keras menengadah ke langit (ketika sholat). Dari Abu Hurairah
radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda: “Hendaklah sekelompok orang benar-benar menghentikan pandangan
matanya yang terangkat ke langit ketika berdoa dalam sholat atau
hendaklah mereka benar-benar menjaga pandangan mata mereka.” (HR.
Muslim, Nasa’i dan Ahmad).
Rasulullah juga melarang seseorang menoleh ke kanan
atau ke kiri ketika sholat, beliau bersabda: “Jika kalian sholat,
janganlah menoleh ke kanan atau ke kiri karena Allah akan senantiasa
menghadapkan wajah-Nya kepada hamba yang sedang sholat selama ia tidak
menoleh ke kanan atau ke kiri.” (HR. Tirmidzi dan Hakim).
Dalam Zaadul Ma’aad (I/248) disebutkan bahwa makruh hukumnya orang yang sedang sholat menolehkan kepalanya tanpa ada keperluan. Ibnu Abdil Bar berkata, “Jumhur ulama mengatakan bawa menoleh yang ringan tidak menyebabkan shalat menjadi rusak.”
Dalam Zaadul Ma’aad (I/248) disebutkan bahwa makruh hukumnya orang yang sedang sholat menolehkan kepalanya tanpa ada keperluan. Ibnu Abdil Bar berkata, “Jumhur ulama mengatakan bawa menoleh yang ringan tidak menyebabkan shalat menjadi rusak.”
Juga dimakruhkan shalat dihadapan sesuatu yang bisa
merusak konsentrasi atau di tempat yang ada gambar-gambarnya, diatas
sajadah yang ada lukisan atau ukiran, dihadapan dinding yang bergambar
dan sebagainya.
Membaca Do’a Iftitah
Doa
istiftah yang dibaca oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
bermacam-macam. Dalam doa istiftah tersebut beliau shallallahu ‘alaihi
wasallam mengucapkan pujian, sanjungan dan kalimat keagungan untuk
Allah.
Beliau
pernah memerintahkan hal ini kepada orang yang salah melakukan
sholatnya dengan sabdanya:”Tidak sempurna sholat seseorang sebelum ia
bertakbir, mengucapkan pujian, mengucapkan kalimat keagungan (doa
istiftah), dan membaca ayat-ayat al Quran yang dihafalnya…” (HR. Abu
Dawud dan Hakim, disahkan oleh Hakim, disetujui oleh Dzahabi).
Adapun bacaan doa istiftah yang diajarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam diantaranya adalah:
اَللَّهُمَّ
بَاعِدْ بَيْنِيْ وَبَيْنَ خَطَايَايَ كَمَا بَاعَدْتَ بَيْنَ الْمَشْرِقِ
وَالْمَغْرِبِ، اَللَّهُمَّ نَقِّنِيْ مِنْ خَطَايَايَ، كَمَا يُنَقَّى
الثَّوْبُ اْلأَبْيَضُ مِنَ الدَّنَسِ، اَللَّهُمَّ اغْسِلْنِيْ مِنْ
خَطَايَايَ بِالثَّلْجِ وَالْمَاءِ وَالْبَرَدِ.
“Ya Allah,
jauhkan antara aku dan kesalahan-kesalahanku, sebagaimana Engkau
menjauhkan antara timur dan barat. Ya Allah, bersihkanlah aku dan
kesalahan- kesalahanku, sebagaimana baju putih dibersihkan dari kotoran.
Ya Allah, cucilah aku dari kesalahan-kesalahanku dengan salju, air dan
air es”. [HR. Al-Bukhari 1/181 dan Muslim 1/419.]
سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ، وَتَبَارَكَ اسْمُكَ، وَتَعَالَى جَدُّكَ، وَلاَ إِلَـهَ غَيْرُكَ.
Maha Suci
Engkau ya Allah, aku memujiMu, Maha Berkah akan nama-Mu, Maha Tinggi
kekayaan dan kebesaranMu, tiada Ilah yang berhak disembah selain Engkau.
[HR. Empat penyusun kitab Sunan, dan lihat Shahih At-Tirmidzi 1/77 dan
Shahih Ibnu Majah 1/135.]
وَجَّهْتُ
وَجْهِيَ لِلَّذِيْ فَطَرَ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضَ حَنِيْفًا وَمَا
أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِيْنَ، إِنَّ صَلاَتِيْ، وَنُسُكِيْ، وَمَحْيَايَ،
وَمَمَاتِيْ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ، لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَبِذَلِكَ
أُمِرْتُ وَأَنَا مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ. اَللَّهُمَّ أَنْتَ الْمَلِكَ لاَ
إِلَـهَ إِلاَّ أَنْتَ. أَنْتَ رَبِّيْ وَأَنَا عَبْدُكَ، ظَلَمْتُ
نَفْسِيْ وَاعْتَرَفْتُ بِذَنْبِيْ فَاغْفِرْلِيْ ذُنُوْبِيْ جَمِيْعًا
إِنَّهُ لاَ يَغْفِرُ الذُّنُوْبَ إِلاَّ أَنْتَ. وَاهْدِنِيْ لأَحْسَنِ
اْلأَخْلاَقِ لاَ يَهْدِيْ لأَحْسَنِهَا إِلاَّ أَنْتَ، وَاصْرِفْ عَنِّيْ
سَيِّئَهَا، لاَ يَصْرِفُ عَنِّيْ سَيِّئَهَا إِلاَّ أَنْتَ، لَبَّيْكَ
وَسَعْدَيْكَ، وَالْخَيْرُ كُلُّهُ بِيَدَيْكَ، وَالشَّرُّ لَيْسَ
إِلَيْكَ، أَنَا بِكَ وَإِلَيْكَ، تَبَارَكْتَ وَتَعَالَيْتَ،
أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوْبُ إِلَيْكَ.
“Aku
menghadap kepada Tuhan Pencipta langit dan bumi, dengan memegang agama
yang lurus dan aku tidak tergolong orang-orang yang musyrik.
Sesungguhnya shalat, ibadah dan hidup serta matiku adalah untuk Allah.
Tuhan seru sekalian alam, tiada sekutu bagiNya, dan karena itu, aku
diperintah dan aku termasuk orang-orang muslim.
Ya Allah,
Engkau adalah Raja, tiada Tuhan (yang berhak disembah) kecuali Engkau,
engkau Tuhanku dan aku adalah hambaMu. Aku menganiaya diriku, aku
mengakui dosaku (yang telah kulakukan). Oleh karena itu ampunilah
seluruh dosaku, sesungguhnya tidak akan ada yang mengampuni dosa-dosa,
kecuali Engkau. Tunjukkan aku pada akhlak yang terbaik, tidak akan
menunjukkan kepadanya kecuali Engkau. Hindarkan aku dari akhlak yang
jahat, tidak akan ada yang bisa menjauhkan aku daripadanya, kecuali
Engkau. Aku penuhi panggilanMu dengan kegembiraan, seluruh kebaikan di
kedua tanganMu, kejelekan tidak dinisbahkan kepadaMu. Aku hidup dengan
pertolongan dan rahmatMu, dan kepadaMu (aku kembali). Maha Suci Engkau
dan Maha Tinggi. Aku minta ampun dan bertaubat kepadaMu”. [HR. Muslim
1/534]
اَللَّهُمَّ
رَبَّ جِبْرَائِيْلَ، وَمِيْكَائِيْلَ، وَإِسْرَافِيْلَ فَاطِرَ
السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضِ، عَالِمَ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ، أَنْتَ
تَحْكُمُ بَيْنَ عِبَادِكَ فِيْمَا كَانُوْا فِيْهِ يَخْتَلِفُوْنَ.
اِهْدِنِيْ لِمَا اخْتُلِفَ فِيْهِ مِنَ الْحَقِّ بِإِذْنِكَ تَهْدِيْ مَنْ
تَشَاءُ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيْمٍ.
.“Ya
Allah, Tuhan Jibrail, Mikail dan Israfil. Wahai Pencipta langit dan
bumi. Wahai Tuhan yang mengetahui yang ghaib dan nyata. Engkau yang
menjatuhkan hukum (untuk memutuskan) apa yang mereka (orang-orang
kristen dan yahudi) pertentangkan. Tunjukkanlah aku pada kebenaran apa
yang dipertentangkan dengan seizin dariMu. Sesungguhnya Engkau
menunjukkan pada jalan yang lurus bagi orang yang Engkau kehendaki”.
[HR. Muslim 1/534.]
اَللهُ
أَكْبَرُ كَبِيْرًا، اَللهُ أَكْبَرُ كَبِيْرًا، اَللهُ أَكْبَرُ
كَبِيْرًا، وَالْحَمْدُ لِلَّهِ كَثِيْرًا، وَالْحَمْدُ لِلَّهِ كَثِيْرًا،
وَالْحَمْدُ لِلَّهِ كَثِيْرًا، وَسُبْحَانَ اللهِ بُكْرَةً وَأَصِيْلاً)) ثلاثا ((أَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ، مِنْ نَفْخِهِ وَنَفْثِهِ وَهَمْزِهِ
“Allah Maha
Besar, Allah Maha Besar, Allah Maha Besar. Segala puji bagi Allah dengan
pujian yang banyak, segala puji bagi Allah dengan pujian yang banyak,
segala puji bagi Allah dengan pujian yang banyak. Maha Suci Allah di
waktu pagi dan sore”. (Diucapkan tiga kali). “Aku berlindung kepada
Allah dari tiupan, bisikan dan godaan setan”. [HR. Abu Dawud 1/203, Ibnu
Majah 1/265 dan Ahmad 4/85. Muslim juga meriwayatkan hadits senada dari
Ibnu Umar, dan di dalamnya terdapat kisah 1/420
اَللَّهُمَّ
لَكَ الْحَمْدُ أَنْتَ نُوْرُ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضِ وَمَنْ
فِيْهِنَّ، لَكَ الْحَمْدُ أَنْتَ قَيِّمُ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضِ
وَمَنْ فِيْهِنَّ، [وَلَكَ الْحَمْدُ أَنْتَ رَبُّ السَّمَاوَاتِ
وَاْلأَرْضِ وَمَنْ فِيْهِنَّ][وَلَكَ الْحَمْدُ لَكَ مُلْكُ السَّمَاوَاتِ
وَاْلأَرْضِ وَمَنْ فِيْهِنَّ][وَلَكَ الْحَمْدُ أَنْتَ مَلِكُ
السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضِ][ وَلَكَ الْحَمْدُ][أَنْتَ الْحَقُّ،
وَوَعْدُكَ الْحَقُّ، وَقَوْلُكَ الْحَقُّ، وَلِقَاؤُكَ الْحَقُّ،
وَالْجَنَّهُ حَقُّ، وَالنَّارُ حَقُّ، وَالنَّبِيُّوْنَ حَقُّ،
وَمُحَمَّدٌ حَقُّ، وَالسَّاعَةُ حَقُّ][اَللَّهُمَّ لَكَ أَسْلَمْتُ،
وَعَلَيْكَ تَوَكَّلْتُ، وَبِكَ آمَنْتُ، وَإِلَيْكَ أَنَبْتُ، وَبِكَ
خَاصَمْتُ، وَإِلَيْكَ حَاكَمْتُ. فَاغْفِرْ لِيْ مَا قَدَّمْتُ وَمَا
أَخَّرْتُ، وَمَا أَسْرَرْتُ وَمَا أَعْلَنْتُ][أَنْتَ الْمُقَدِّمُ
وَأَنْتَ الْمُؤَخِّرُ، لاَ إِلَـهَ إِلاَّ أَنْتَ][أَنْتَ إِلَـهِيْ لاَ
إِلَـهَ إِلاَّ أَنْتَ].
“Apabila
Nabi Shallallahu’alaihi wasallam shalat Tahajud di waktu malam, beliau
membaca: “Ya, Allah! BagiMu segala puji, Engkau cahaya langit dan bumi
serta seisinya. BagiMu segala puji, Engkau yang mengurusi langit dan
bumi serta seisinya. BagiMu segala puji, Engkau Tuhan yang menguasai
langit dan bumi serta seisinya. BagiMu segala puji dan bagi-Mu kerajaan
langit dan bumi serta seisi-nya. BagiMu segala puji, Engkau benar,
janjiMu benar, firmanMu benar, bertemu denganMu benar, Surga adalah
benar (ada), Neraka adalah benar (ada), (terutusnya) para nabi adalah
benar, (terutusnya) Muhammad adalah benar (dariMu), kejadian hari Kiamat
adalah benar. Ya Allah, kepadaMu aku menyerah, kepadaMu aku bertawakal,
kepadaMu aku beriman, kepadaMu aku kembali (bertaubat), dengan
pertolonganMu aku berdebat (kepada orang-orang kafir), kepadaMu (dan
dengan ajaran-Mu) aku menjatuhkan hukum. Oleh karena itu, ampunilah
dosaku yang telah lewat dan yang akan datang. Engkaulah yang
mendahulukan dan mengakhirkan, tiada Tuhan yang hak disembah kecuali
Engkau, Engkau adalah Tuhanku, tidak ada Tuhan yang hak disembah kecuali
Engkau”. [HR. Al-Bukhari dalam Fathul Bari 3/3, 11/116, 13/371, 423,
465 dan Muslim meriwayatkannya dengan ringkas 1/532]
Membaca Ta’awudz
Membaca
doa ta’awwudz adalah disunnahkan dalam setiap raka’at, sebagaimana
firman Allah ta’ala: “Apabila kamu membaca Al Quran hendaklah kamu
meminta perlindungan kepada Allah dari syaitan yang terkutuk.” (An Nahl :
98).
Dan
pendapat ini adalah yang paling shahih dalam madzhab Syafi’i dan
diperkuat oleh Ibnu Hazm (Lihat al Majmuu’ III/323 dan Tamaam al Minnah
172-177).
Nabi biasa membaca ta’awwudz yang berbunyi:
أَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ،
“Aku berlindung kepada Allah dari setan yang terkutuk”
Atau mengucapkan:
“A’UUDZUBILLAHI MINASY SYAITHAANIR RAJIIM MIN HAMAZIHI WA NAFKHIHI WANAFTSIHI”
artinya:”Aku
berlindung kepada Allah dari setan yang terkutuk, dari semburannya
(yang menyebabkan gila), dari kesombongannya, dan dari hembusannya (yang
menyebabkan kerusakan akhlaq).” (Hadits diriwayatkan oleh Al Imam Abu
Dawud, Ibnu Majah, Daraquthni, Hakim dan dishahkan olehnya serta oleh
Ibnu Hibban dan Dzahabi).
Atau mengucapkan
“A’UUZUBILLAHIS SAMII’IL ALIIM MINASY SYAITHAANIR RAJIIM…”
artinya:
“Aku
berlindung kepada Allah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui dari
setan yang terkutuk…” (Hadits diriwayatkan oleh Al Imam Abu Dawud dan
Tirmidzi dengan sanad hasan).
Membaca Al-Fatihah
Hukum Membaca Al Fatihah
Membaca
Al Fatihah merupakan salah satu dari sekian banyak rukun sholat, jadi
kalau dalam sholat tidak membaca Al-Fatihah maka tidak sah sholatnya
berdasarkan perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Tidak
dianggap sholat (tidak sah sholatnya) bagi yang tidak membaca Al
Fatihah” (Hadits Shahih dikeluarkan oleh Al- Jama’ah: yakni Al Imam Al
Bukhari, Muslim, Abu Dawud, At Tirmidzi, An Nasai dan Ibnu Majah).
“Barangsiapa
yang sholat tanpa membaca Al Fatihah maka sholatnya buntung, sholatnya
buntung, sholatnya buntung…tidak sempurna” (Hadits Shahih dikeluarkan
oleh Al Imam Muslim dan Abu ‘Awwanah).
Kapan Kita Wajib Membaca Surat Al-Fatihah
Jelas
bagi kita kalau sedang sholat sendirian (munfarid) maka wajib untuk
membaca Al Fatihah, begitu pun pada sholat jama’ah ketika imam
membacanya secara sirr (tidak diperdengarkan) yakni pada sholat Dhuhur,
‘Ashr, satu roka’at terakhir sholat Mahgrib dan dua roka’at terakhir
sholat ‘Isyak, maka para makmum wajib membaca surat Al-Fatihah tersebut
secara sendiri-sendiri secara sirr (tidak dikeraskan).
Lantas bagaimana kalau imam membaca secara keras…? spt sholat maghrib, isya, subuh.
Tentang
ini Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa pernah Rasulullah melarang makmum
membaca surat dibelakang imam kecuali surat Al Fatihah, “Betulkah
kalian tadi membaca (surat) dibelakang imam kalian?” Kami menjawab: “Ya,
tapi dengan cepat wahai Rasulallah.” Berkata Rasul: “Kalian tidak boleh
melakukannya lagi kecuali membaca Al-Fatihah, karena tidak ada sholat
bagi yang tidak membacanya.” (Hadits dikeluarkan oleh Al Imam Al
Bukhori, Abu Dawud, dan Ahmad, dihasankan oleh At Tirmidzi dan Ad
Daraquthni)
Selanjutnya
beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang makmum membaca surat
apapun ketika imam membacanya dengan jahr (diperdengarkan) baik itu Al
Fatihah maupun surat lainnya. Hal ini selaras dengan keterangan dari Al
Imam Malik dan Ahmad bin Hanbal tentang wajibnya makmum diam bila imam
membaca dengan jahr/keras. Berdasar arahan Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam, Dari Abu Hurairah, ia berkata: Telah berkata Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam :”Dijadikan imam itu hanya untuk diikuti.
Oleh karena itu apabila imam takbir, maka bertakbirlah kalian, dan
apabila imam membaca, maka hendaklah kalian diam (sambil memperhatikan
bacaan imam itu)…” (Hadits Shahih dikeluarkan oleh Imam Ahmad, Abu Dawud
no. 603 & 604. Ibnu Majah no. 846, An Nasai. Imam Muslim berkata:
Hadits ini menurut pandanganku Shahih).
“Barangsiapa
sholat mengikuti imam (bermakmum), maka bacaan imam telah menjadi
bacaannya juga.” (Hadits dikeluarkan oleh Imam Ibnu Abi Syaibah, Ad
Daraquthni, Ibnu Majah, Thahawi dan Ahmad lihat kitab Irwaul Ghalil oleh
Syaikh Al- Albani).
Membaca Aamin
Hukum Bagi Imam:
Membaca amin disunnahkan bagi imam sholat.
Dari
Abu hurairah, dia berkata: “Dulu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam, jika selesai membaca surat Ummul Kitab (Al Fatihah) mengeraskan
suaranya dan membaca aamin.” (Hadits dikeluarkan oleh Imam Ibnu Hibban,
Al Hakim, Al Baihaqi, Ad Daraquthni dan Ibnu Majah, oleh Al Albani dalam
Al Silsilah Al Shahihah dikatakan sebagai hadits yang berkualitas
shahih)
“Bila
Nabi selesai membaca Al-Fatihah (dalam sholat), beliau mengucapkan
aamiin dengan suara keras dan panjang.” (Hadits shahih dikeluarkan oleh
Al Imam Al- Bukhari dan Abu Dawud)
Hadits
tersebut mensyari’atkan para imam untuk mengeraskan bacaan amin,
demikian yang menjadi pendapat Al Imam Al Bukhari, As Syafi’i, Ahmad,
Ishaq dan para imam fikih lainnya. Dalam shahihnya Al Bukhari membuat
suatu bab dengan judul ‘baab jahr al imaan bi al ta miin’ (artinya: bab
tentang imam mengeraskan suara ketika membaca amin). Di dalamnya dinukil
perkataan (atsar) bahwa Ibnu Al- Zubair membaca amin bersama para
makmum sampai seakan-akan ada gaung dalam masjidnya.
Juga
perkataan Nafi’ (maula Ibnu Umar): Dulu Ibnu Umar selalu membaca aamiin
dengan suara yang keras. Bahkan dia menganjurkan hal itu kepada semua
orang. Aku pernah mendengar sebuah kabar tentang anjuran dia akan hal
itu.”
Hukum Bagi Makmum:
Dalam hal ini ada beberapa petunjuk dari Nabi (Hadits), atsar para shahabat dan perkataan para ulama.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: “Jika imam membaca amiin maka hendaklah kalian juga membaca amiin.”
Hal
ini mengisyaratkan bahwa membaca amiin itu hukumnya wajib bagi makmum.
Pendapat ini dipertegas oleh Asy Syaukani. Namun hukum wajib itu tidak
mutlak harus dilakukan oleh makmum. Mereka baru diwajibkan membaca
aamiin ketika imam juga membacanya.
Adapun bagi imam dan orang yang sholat sendiri, maka hukumnya hanya sunnah. (lihat Nailul Authaar, II/262).
“Bila
imam selesai membaca ghoiril maghdhuubi ‘alaihim waladhdhooolliin,
ucapkanlah amiin [karena malaikat juga mengucapkan amiin dan imam pun
mengucapkan amiin]. Dalam riwayat lain: “(apabila imam mengucapkan
amiin, hendaklah kalian mengucapkan amiin) barangsiapa ucapan aminnya
bersamaan dengan malaikat, (dalam riwayat lain disebutkan: “bila
seseorang diantara kamu mengucapkan amin dalam sholat bersamaan dengan
malaikat dilangit mengucapkannya), dosa-dosanya masa lalu diampuni.”
(Hadits dikeluarkan oleh Al Imam Al Bukhari, Muslim, An Nasai dan Ad
Darimi)
Syaikh Al Albani mengomentari masalah ini sebagai berikut:
“Aku berkata: Masalah ini harus
diperhatikan dengan serius dan tidak boleh diremehkan dengan cara
meninggalkannya. Termasuk kesempurnaan dalam mengerjakan masalah ini
adalah dengan membarengi bacaan amin sang imam, dan tidak mendahuluinya.
(Tamaamul Minnah hal. 178)
Membaca Surat Setelah Al-Fatihah
Membaca
surat Al Qur an setelah membaca Al Fatihah dalan sholat hukumnya sunnah
karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membolehkan tidak
membacanya. Membaca surat Al Quran ini dilakukan pada dua roka’at
pertama. Banyak hadits yang menceritakan perbuatan Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam tentang itu.
Panjang Pendeknya Surat Yang Dibaca
Pada
sholat munfarid Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca
surat-surat yang panjang kecuali dalam kondisi sakit atau sibuk,
sedangkan kalau sebagai imam disesuaikan dengan kondisi makmumnya
(misalnya ada bayi yang menangis maka bacaan diperpendek).
Rasulullah
berkata: “Aku melakukan sholat dan aku ingin memperpanjang bacaannya
akan tetapi, tiba-tiba aku mendengar suara tangis bayi sehingga aku
memperpendek sholatku karena aku tahu betapa gelisah ibunya karena
tangis bayi itu.” (Muttafaq ‘alaih)
Cara Membaca Surat
Dalam
satu sholat terkadang beliau membagi satu surat dalam dua roka’at,
kadang pula surat yang sama dibaca pada roka’at pertama dan kedua.
(berdasar hadits yang dikeluarkan oleh Al Imam Ahmad dan Abu Ya’la, juga
hadits shahih yang dikeluarkan oleh Al Imam Abu Dawud dan Al Baihaqi
atau riwayat dari Ahmad, Ibnu Khuzaimah dan Al Hakim, disahkan oleh Al
Hakim disetujui oleh Ad Dzahabi)
Terkadang
beliau membolehkan membaca dua surat atau lebih dalam satu roka’at.
(Berdasar hadits yang dikeluarkan oleh Al Imam Al Bukhari dan At
Tirmidzi, dinyatakan oleh At Tirmidzi sebagai hadits shahih)
Tata Cara Bacaan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam biasanya membaca surat dengan jumlah ayat
yang berimbang antara roka’at pertama dengan roka’at kedua. (berdasar
hadits shahih dikeluarkan oleh Al Bukhari dan Muslim)
Dalam
sholat yang bacaannya dijahrkan Nabi membaca dengan keras dan jelas.
Tetapi pada sholat dzuhur dan ashar juga pada sholat maghrib pada
roka’at ketiga ataupun dua roka’at terakhir sholat isya’ Nabi membacanya
dengan lirih yang hanya bisa diketahui kalau Nabi sedang membaca dari
gerakan jenggotnya, tetapi terkadang beliau memperdengarkan bacaannya
kepada mereka tapi tidak sekeras seperti ketika di-jahr-kan.
(Berdasarkan hadits yang dikeluarkan oleh Al Imam Al Bukhari, Muslim dan
Abu Dawud)
Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam sering membaca suatu surat dari awal
sampai selesai selesai. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata:
“Berikanlah setiap surat haknya, yaitu dalam setiap (roka’at) ruku’ dan
sujud.” (Hadits dikeluarkan oleh Al Imam Ibnu Abi Syaibah, Ahmad dan
‘Abdul Ghani Al-Maqdisi)
Dalam
riwayat lain disebutkan: “Untuk setiap satu surat (dibaca) dalam satu
roka’at.” (Hadits dikeluarkan oleh Al Imam Ibnu Nashr dan At Thohawi)
Dijelaskan
oleh Syaikh Al Albani: “Seyogyanya kalian membaca satu surat utuh dalam
setiap satu roka’at sehingga roka’at tersebut memperoleh haknya dengan
sempurna.” Perintah dalam hadits tersebut bersifat sunnah bukan wajib.
Dalam
membaca surat Al Quran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
melakukannya dengan tartil, tidak lambat juga tidak cepat -sebagaimana
diperintahkan oleh Allah- dan beliau membaca satu per satu kalimat,
sehingga satu surat memerlukan waktu yang lebih panjang dibanding kalau
dibaca biasa (tanpa dilagukan). Rasulullah berkata bahwa orang yang
membaca Al Quran kelak akan diseru: “Bacalah, telitilah dan tartilkan
sebagaimana kamu dulu mentartilkan di dunia, karena kedudukanmu berada
di akhir ayat yang engkau baca.” (Hadits dikeluarkan oleh Al Imam Abu
Dawud dan At Tirmidzi, dishahihkan oleh At Tirmidzi)
Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca surat Al Quran dengan suara yang
bagus, maka beliau juga memerintahkan yang demikian itu:
“Perindahlah/hiasilah Al Quran dengan suara kalian [karena suara yang
bagus menambah keindahan Al Quran].” (Hadits dikeluarkan oleh Al Imam Al
Bukhari , Abu Dawud, Ad Darimi, Al Hakim dan Tamam Ar Razi)
“Bukanlah
dari golongan kami orang yang tidak melagukan Al Quran.” (Hadits
dikeluarkan oleh Abu Dawud dan Al Hakim, dishahihkan oleh Al Hakim dan
disetujui oleh Adz Dzahabi)